ads

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

CLARA ZETKIN : Ibu Besar Revolusi

  • Bagikan

zetkin“Namanya dikenang setiap peringatan Hari Perempuan Internasional. Zetkin-lah peletak dasar gagasan sebuah momentum yang diperingati di seluruh dunia”.

KUPANG,fokusnusatenggara.com-DI Istora Senayan, lagu Maju Tak Gentar mengalun. Sukarno tak puas. Nyanyian lagu itu terdengar melempem, dan hanya beberapa orang yang ikut menyanyi. Dia mengajak yang hadir menyanyi lagi. Kali ini dia senang. “Lha yo ngono!” ujar Sukarno.

Suasana Jakarta memang tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Suasana politik lagi genting pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965. Kekuasaan Sukarno sendiri lagi di ujung tanduk. Tapi suaranya tetap lantang, pidato-pidatonya masih berapi-api.

Sukarno hadir dan memberikan pidato dalam Rapat Umum Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 1966. Dia mengumandangkan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme, agresi Amerika di Vietnam, perjuangan Irian Barat, dan tentu saja peranan perempuan. Dalam pidato itu dia menyebut nama Clara Chetkin, “koreksi ya, bukan Clara Zetkin,” ujar Sukarno seperti dikutip Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai.

“Clara Chetkin itu orang apa? Pemimpin kaum buruh… Orang sosialis… Orang komunis, komunis, komunis.”

Baca Juga :  Wow, Pasangan Ini Gelar Resepsi Pernikahan Tanpa Busana

“Nah, kita sebagai Pancasilais sejati, jangan kita takut pada perkataan komunis itu, Saudara-saudara. Sebab, sekarang ini penentangan kepada komunis itu pun menjadi kecap.”

Tak banyak yang dikatakan Sukarno tentang Zetkin. Dia hanya menyebut upaya Zetkin menggalang solidaritas internasional, mengadakan Kongres Wanita Internasional I pada 1910, dan pandangan Zetkin tentang ofensif kapitalisme bagi progresivitas kaum perempuan. Tapi berkat Sukarno, nama Clara Zetkin dikenal di Indonesia. Selain dalam pidato-pidatonya, Sukarno menulis nama Zetkin berkali-kali dalam bukuSarinah. Sukarno menjuluki Zetkin sebagai ”ibu besar revolusi.”

Nama Zetkin dikenal di Indonesia karena Soekarno berkali-kali menyebut namanya. Sulami, wakil sekjen Gerwani, seperti dikutip dari buku Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, bilang terinspirasi akan gerakan perempuan dan membaca karya-karya Zetkin karena mendengar nama Zetkin disebut-sebut Sukarno. Tulisan-tulisan Zetkin kemudian dibaca para pemimpin Gerwani dan juga menjadi bahan dalam kursus-kursus kader yang dilakukan Gerwani.

Baca Juga :  Jefri Riwu Kore : Kalau Saya Terpilih, Saya Tidak Akan Seperti Jonas

Clara Zetkin lahir dengan nama Clara Eissner, di sebuah daerah pertanian di Sanken, Jerman Timur, pada 5 Juli 1857. Ayahnya, Gottfried Eissner, seorang kepala sekolah yang cukup terhormat sekaligus penganut Protestan yang taat. Ibunya, Josephine Vitale Eissner, berasal dari kalangan terdidik dari Leipzig. Setelah kematian sang ayah, keluarga mereka bangkrut. Mereka hidup pas-pasan. Tapi ibunya terus mendorongnya untuk maju dan mengenyam pendidikan tinggi.

Sekitar rumahnya di Sanken terdapat kawasan pabrik. Setiap hari Zetkin menyaksikan kehidupan kaum buruh yang miskin, berpeluh, dan sesak nafas di bawah cerobong asap. Mayoritas buruh perempuan. Diam-diam kenangan akan kegetiran hidup kaum buruh itu mengendap di kepala Zetkin.

Tamat sekolah menengah pertama, dia masuk ke sekolah guru di kota Leipzig, daerah asal ibunya. Di kota inilah Zetkin berkenalan dengan Ossip Zetkin, aktivis Marxis dari Rusia. Dari diskusi-diskusi, Zetkin mengenal gerakan perempuan dan buruh.

Baca Juga :  Mengabdi Bagi Masyarakat, Ziarah Hidup Seorang Willy Lay

Namun situasi Jerman memanas. Pada 1878, Rezim Bismarck memberangus gerakan dan kegiatan kaum sosialis di Jerman. Zetkin, Ossip, dan sejumlah aktivis diburu. Mereka melarikan diri ke Zürich dan Paris. Di sana Zetkin menyamar dengan bekerja sebagai guru. Dia juga menikah dengan Ossip Zetkin, serta melahirkan dan membesarkan anak dalam suasana perburuan yang menegangkan. Tapi, pada Januari 1889, Zetkin harus kehilangan suaminya yang meninggal karena penyakit tbc.

Zetkin kembali ke Jerman bersama kedua anaknya setelah suasana aman. Dia bertekad melanjutkan perjuangan di negerinya sendiri. Di Jerman, dia bertemu dengan Rosa Luxemburg, sesama aktivis Partai Sosial-Demokratik Jerman (SPD), perempuan cerdas dan pemberani yang kelak menjadi kawan karibnya terpercaya. Kedua perempuan ini menjadi tokoh utama dari sayap revolusioner partai.

  • Bagikan